Like Us Facebook

Aspek Hukum Pelimpahan Kewenangan PA

Pengadaan Galih Gumelar - Menjadi PA adalah tanggung jawab yang besar, apalagi tanggung jawab sebagai Menteri, Kepala Lembaga atau Kepala Perangkat Daerah yang otomatis tidak hanya sebagai Pengguna Anggaran tapi juga Pengguna Barang bahkan juga Pengguna Personil. Tepatlah kiranya jika Menteri, Pimpinan Lembaga atau Kepala Perangkat Daerah adalah PA atau Penguasa Alam. Karena dia penguasa penggunaan alam uang, barang dan kepegawaian.

Inilah yang harus disadari oleh para pihak dalam hirarki pertanggung jawaban administrasi dan perdata pelaksana kuasa dan tugas penggunaan anggaran/PA. Atas tanggung jawab yang berat dan tugas yang sangat luas tersebut maka PA dapat melimpahkan kewenangan baik melalui pendelegasian berupa kuasa penggunaan anggaran, kuasa perbendaharaan maupun pemberian mandat pelaksanaan tugas penggunaan anggaran.

Sebagai top manajer maka dalam pelaksanaan tugas memiliki kewajiban untuk mengukur kemampuan diri sendiri atau berbagi peran dengan struktur organisasi dibawahnya ataupun juga dengan orang diluar organisasinya. Aspek yang diperhatikan dalam pelimpahan kewenangan antara lain adalah tingkatan daerah, besaran unit kerja, besaran jumlah uang yang dikelola, beban kerja, lokasi, kompetensi, rentang kendali dan pertimbangan objektif lainnya.

Pada tataran pendelegasian maka PA berbagi kewenangan berupa tugas sekaligus tanggung jawab (hukum administrasi) dan tanggung gugat (hukum perdata) kepada staf di bawahnya. Pada tataran pemberian mandat maka PA hanya berbagi tugas saja kepada staf maupun orang lain yang ditunjuk/ditetapkan sedangkan tanggung jawab dan tanggung gugat tetap melekat pada dirinya. Penerima mandat bertanggung jawab penuh secara administratif kepada PA. Pemahaman ini terjelaskan sebagian dalam UU 30/2014, Bagian Ketujuh tentang Larangan Penyalahgunaan Wewenang, pasal 17 s/d pasal 21.

Terkadang ada yang menanyakan bagaimana dengan tanggung jawab pidana. Apakah ada pembedaan terkait dengan pelimpahan kewenangan? Aspek pidana adalah bersifat pribadi. Artinya tanggung jawab individu atas adanya kejahatan yang terbukti kuat unsur niat jahat (mens rea) dan unsur perbuatan (actus rea). Baik “kuasa” (delegasi) maupun “petugas” (mandat), jika memenuhi syarat “kejahatan = niat jahat + perbuatan”, maka siapapun bertanggung jawab secara pribadi atas kejahatannya. Jika syarat “kejahatan” tidak terpenuhi maka nilai perbuatan yang tidak sesuai aturan hanyalah “kesalahan” yang harus dipertanggung jawabkan secara administratif baik tanggung jawab (administrasi) maupun tanggung gugat (perdata).

Sesuai dengan asas hukum Pidana sebagai Ultimum Remedium maka penyelesaian admnistratif dan perdata meluruhkan tanggung jawab dan tanggung gugat, selama belum terbukti secara kuat keterpenuhan syarat kejahatan (mens rea + actus rea). Sebaliknya jika telah terbukti kuat keterpenuhan syarat kejahatan maka penyelesaian administratif dan perdata tidak meluruhkan tanggung jawab pidananya.

Pemahaman di atas bersesuaian dengan S.R. Sianturi dalam buku “Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya” (hal. 418), peniadaan penuntutan atau penghapusan hak menuntut yang diatur secara umum dalam Bab VIII Buku I KUHP adalah:

  1. Telah ada putusan hakim yang tetap (de kracht van een rechterlijk gewisjde) mengenai tindakan (feit) yang sama (Pasal 76);
  2. Terdakwa meninggal (Pasal 77);
  3. Perkara tersebut daluwarsa (Pasal 78);
  4. Terjadi penyelesaian di luar persidangan (Pasal 82) (khusus untuk pelanggaran yang diancam dengan pidana denda).

Pengembalian dana yang telah digelapkan baik sebagian maupun seluruhnya tidak akan menghapuskan pidananya karena perbuatan pidananya telah sempurna.


Posting Komentar

0 Komentar