Like Us Facebook

Panitia, berhati-hatilah menggunakan Metode Evaluasi Sistem Nilai

Proses pengadaan barang/jasa yang mengacu kepada Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 80 Tahun 2003 memang banyak yang multitafsir. Tapi sayangnya, hal-hal yang multitafsir ini kadang tidak dipahami atau malah dimanfaatkan oleh segelintir orang untuk melaksanakan kegiatan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip pengadaan.
Beberapa minggu terakhir saya banyak melihat permasalahan terjadi karena ketidakpahaman ini, entah disengaja atau tidak disengaja, khususnya dalam memilih metode evaluasi pengadaan barang/jasa pemborongan konstruksi/jasa lainnya.

Seperti yang kita ketahui bersama, di dalam Keppres No. 80 Tahun 2003 khusus untuk Pengadaan Barang/Jasa Pemborongan Konstruksi/Jasa Lainnya metode evaluasi dokumen pengadaan terdiri atas 3 jenis, yaitu Metode Evaluasi Sistem Gugur, Metode Evaluasi Sistem Nilai, dan Metode Evaluasi Penilaian Selama Umur Ekonomis.
Permasalahan yang paling sering terjadi adalah ketika panitia memutuskan menggunakan Metode Evaluasi Sistem Nilai, yaitu Dasar Pemberian Nilai atau Skor dan Penggunaan Passing Grade.
Saya mencoba membahas mengapa sampai muncul himbauan seperti pada judul tulisan ini.
Dasar Pemberian Nilai atau Skor
Kalau kita melihat Lampiran I Keppres 80 Tahun 2003 Bab I, C, 3, b, 1, b dijelaskan bahwa:
Evaluasi penawaran dengan sistem nilai digunakan untuk pengadaan barang/jasa pemborongan/jasa lainnya yang memperhitungkan keunggulan teknis sepadan dengan harganya, mengingat penawaran harga sangat dipengaruhi oleh kualitas teknis. Urutan proses penilaian dengan sistem ini adalah sebagai berikut:
  1. Evaluasi Administrasi
    1. Evaluasi administrasi dilakukan terhadap penawaran yang memenuhi syarat pada pembukaan penawaran;
    2. Evaluasi administrasi dilakukan terhadap dokumen penawaran yang masuk dan dievaluasi kelengkapan dan keabsahan syarat administrasi. Unsur-unsur yang dievaluasi pada tahap ini harus berdasarkan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam dokumen pengadaan (tidak dikurangi atau ditambah);
    3. Evaluasi administrasi menghasilkan dua kesimpulan, yaitu memenuhi syarat administrasi atau tidak memenuhi syarat administrasi.
  2. Evaluasi Teknis dan Harga
    1. Sistem nilai menggunakan pendekatan/metode kuantitatif, yaitu dengan memberikan nilai angka terhadap unsur-unsur teknis dan harga yang dinilai sesuai dengan kriteria yang ditetapkan dalam dokumen pengadaan;
    2. Evaluasi teknis dan harga dilakukan terhadap penawaran-penawaran yang dinyatakan memenuhi persyaratan administrasi, dengan memberikan penilaian (skor) terhadap unsur-unsur teknis dan/atau harga penawaran (lihat contoh);
    3. Berdasarkan hasil evaluasi tersebut, Pejabat / Panitia Pengadaan / Unit Layanan Pengadaan (Procurement Unit) membuat daftar urutan penawaran, yang dimulai dari urutan penawaran yang memiliki nilai tertinggi;
Apabila kita melihat pada aturan di atas, maka evaluasi sistem nilai atau merit point systemmemberikan keleluasaan yang cukup besar kepada panitia untuk menentukan unsur-unsur teknis, nilai angka setiap unsur, serta skor peserta pengadaan barang/jasa terhadap setiap unsur tersebut.
Disinilah muncul kerawanan pertama, yaitu dasar pemberian nilai atau skor yang terdiri atas 3 kerawanan, yaitu penetapan unsur apa saja yang harus dinilai, berapa bobot masing-masing unsur, dan berapa skor masing-masing peserta terhadap unsur tersebut.
Pemilihan unsur yang akan dinilai ini sangat penting, karena tidak semua unsur dapat diberikan nilai begitu saja. Sebagai contoh, beberapa panitia pada jasa pemborongan konstruksi menetapkan beberapa unsur teknis yang dapat dinilai, yaitu:
  • Metode Pelaksanaan. Unsur ini termasuk yang cukup sulit untuk dijadikan penilaian, karena dalam sebuah pekerjaan konstruksi, metode pelaksanaan sudah ditetapkan terlebih dahulu oleh konsultan perencana. Kalaupun ada metode yang lebih baik, maka itu dapat dinggap sebagai masukan untuk memperkaya pelaksanaan pekerjaan dan sebenarnya tidak perlu dilakukan penilaian. Permasalahan berikutnya adalah bobot apabila metode ini dinilai. Di beberapa kasus, nilai bobot metode lebih besar dibandingkan nilai bahan yang digunakan. Apakah metode pembangunan sebuah gedung yang jelas-jelas hanya di atas kertas lebih tinggi nilainya dibandingkan spesifikasi bahan yang akan digunakan ? Penilaian ini juga nantinya amat bergantung kepada kehebatan penulis metode dalam merangkai kata-kata indah :)
  • Jadwal Pelaksanaan. Kadang saya menemukan pada metode evaluasi sistem nilai, panitia memasukkan unsur ini ke dalam unsur yang dinilai. Ini cukup mengherankan, karena bukankah jadwal waktu pelaksanaan itu sudah ditetapkan di dalam dokumen lelang ? Misalnya 150 hari, 180 hari, dan lain-lain. Serta dibatasi dengan akhir tahun anggaran. Kalaupun peserta menawarkan jangka waktu yang lebih singkat, maka itu dapat dianggap keuntungan mereka juga, karena tenaga dan peralatan yang digunakan akan lebih murah yang disebabkan berkurangnya biaya operasional. Jadi untuk apa unsur ini ditetapkan untuk dinilai ?
  • Peralatan yang digunakan. Unsur ini biasanya memasukkan perbedaan nilai yang cukup mencolok antara peralatan yang dimiliki sendiri atau peralatan yang disewa. Alasan panitia biasanya adalah, apabila sebuah perusahaan konstruksi memiliki peralatan sendiri, maka pekerjaan yang ditangani akan lebih terjamin dibandingkan apabila peralatan tersebut disewa. Pertanyaannya, apa dasar penyataan ini ? Kalau sewa dan lokasi sewanya dekat dengan lokasi pekerjaan, bukankah jauh lebih cepat ? Seharusnya panitia tidak perlu memikirkan hal ini. Cukup menekankan bahwa pekerjaan yang diminta mewajibkan penggunaan alat berat dengan jenis dan tipe tertentu agar terjamin pelaksanaannya. Apakah itu milik sendiri atau disewa, serahkan saja sepenuhnya kepada penyedia barang/jasa.
  • Struktur organisasi dan personil inti lapangan. Ini yang sering terjadi, yaitu dengan mencampurkan unsur teknis dan unsur kualifikasi. Penilaian tenaga ahli atau personil inti tidak dilakukan pada tahapan teknis, melainkan pada tahapan kualifikasi, baik dilaksanakan secara prakualifikasi atau pascakualifikasi. Apabila ini dilakukan, akan terjadi penilaian ganda.
  • Syarat teknis lainnya, seperti penanganan lingkungan hidup dan keselamatan kerja, persyaratan jenis material pagar yang mengelilingi proyek, dan lain-lain. Unsur ini sebaiknya tidak dijadikan sebagai penilaian, tetapi dimasukkan sebagai persyaratan wajib yang harus dilaksanakan. Misalnya material pagar, secara aturan sudah ada yang baku mengenai kapan harus ditutup menggunakan seng, atau kasa, dan material lainnya. Jadi tidak perlu lagi dinilai rendah bagi yang menggunakan seng, dan lain-lain
Hal di atas baru permasalahan yang terjadi dalam menetapkan unsur yang akan dinilai. Bobot masing-masing unsur juga masih dapat diperdebatkan. Misalnya panitia menetapkan bobot metode adalah 15 dan syarat teknis lainnya adalah 5, mengapa harus 15 ? mengapa bukan 5 ? Apakah metode itu lebih penting dibandingkan dengan keselamatan dan kesehatan kerja ? Dan berbagai perdebatan lainnya. Dan ini adalah hal yang sangat Subjektif, karena berdasarkan kepada persepsi perseorangan.
Masalah terakhir yang harus diperhatikan oleh panitia pada saat memberikan skor adalah, dasar pemberian skor terhadap unsur-unsur teknis yang ditetapkan. Misalnya, mengapa perusahan A nilai Metodenya 15 ? Dan mengapa perusahaan B hanya 10 ? Apakah hanya karena tidak menulis paragraf pembuka pada proposal metode langsung memotong 5 angka yang setara dengan nilai full pada unsur syarat teknis ?
Inilah penyebab mengapa panitia harus berhati-hati menggunakan Metode Evaluasi Sistem Nilai
Metode Sistem Nilai VS Passing Grade
Satu hal lagi yang kurang diperhatikan bahkan di beberapa kasus malah luput dari perhatian panitia dan menjadi permasalahan cukup besar adalah penggunaan Passing Grade atau nilai ambang batas kelulusan pada metode evaluasi sistem nilai.
Saya kutip kembali Lampiran I Keppres 80 Tahun 2003 Bab I, C, 3, b, 1, b khususnya pada Evaluasi Teknis dan Harga:
  1. Evaluasi Teknis dan Harga
    1. Sistem nilai menggunakan pendekatan/metode kuantitatif, yaitu dengan memberikan nilai angka terhadap unsur-unsur teknis dan harga yang dinilai sesuai dengan kriteria yang ditetapkan dalam dokumen pengadaan;
    2. Evaluasi teknis dan harga dilakukan terhadap penawaran-penawaran yang dinyatakan memenuhi persyaratan administrasi, dengan memberikan penilaian (skor) terhadap unsur-unsur teknis dan/atau harga penawaran (lihat contoh);
    3. Berdasarkan hasil evaluasi tersebut, Pejabat / Panitia Pengadaan / Unit Layanan Pengadaan (Procurement Unit) membuat daftar urutan penawaran, yang dimulai dari urutan penawaran yang memiliki nilai tertinggi;
    4. Bila menggunakan nilai ambang batas lulus (passing grade), hal ini harus dicantumkan dalam dokumen pengadaan. Panitia membuat daftar urutan yang dimulai dari penawaran harga terendah untuk semua penawaran yang memperoleh nilai di atas atau sama dengan nilai ambang batas lulus (passing grade).
Mohon diperhatikan butir (d) di atas. Tertulis dengan jelas bahwa apabila menggunakan Passing Grade, maka:
  1. Harus dicantumkan dalam dokumen pengadaan;
  2. Urutan dimulai dari penawaran harga terendah untuk semua peserta yang memperoleh nilai di atas atau sama dengan passing grade.
Jadi, pada penggunaan passing grade, metode evaluasi sistem nilai secara otomatis akan melebur dengan metode evaluasi sistem gugur yaitu penyusunan pemenang hanya ditentukan pada harga terendah untuk penawaran yang nilai teknisnya di atas passing grade.
Dari mana dasar bahwa hanya teknis-lah yang diberikan skor ? Terlihat dari butir 4 bahwa harga tidak dilakukan penilaian/skoring, tetapi dengan melihat nilai rupiah penawaran itu sendiri. Juga terlihat bahwa pada Lampiran I Keppres 80 Tahun 2003 Bab I, C, 3, b, 1, b, 2, b ada kalimat “…dengan memberikan penilaian (skor) terhadap unsur-unsur teknis dan/atau harga penawaran…” Kembali mohon dilihat kata “dan/atau”, artinya bisa kedua unsur diberikan nilai (teknis maupun harga) atau hanya salah satunya saja (teknis).
Kalau kita melihat secara logika, dengan menetapkan passing grade pada komponen teknis, artinya panitia sudah menentukan Standar Minimal komponen teknis yang dibutuhkan dalam sebuah pengadaan barang/jasa, sehingga penyedia barang/jasa yang mampu menawar dengan harga terendah namun sudah masuk ke dalam ambang batas minimal yang ditetapkan oleh panitia, maka penyedia barang/jasa tersebut dapat ditetapkan sebagai pemenang.
Jadi, sekali lagi saya sampaikan kepada seluruh panitia, berhati-hatilah saat memilih untuk menggunakan Metode Evaluasi Sistem Nilai, pastikan anda memilih menggunakan passing grade atau tidak menggunakan passing grade, karena perbedaan keduanya cukup signifikan.
Metode Evaluasi Sistem Nilai Pada Perpres 54/2010
Karena kerumitan di atas, maka pada Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Pasal 48, metode evaluasi untuk Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya pada prinsipnya menggunakan metode evaluasi sistem gugur.
Metode evaluasi sistem nilai hanya digunakan untuk pekerjaan kompleks dengan kriteria tertentu sesuai Perpres 54/2010 Pasal 1 Ayat (36) yang berbunyi “Pekerjaan Kompleks adalah pekerjaan yang memerlukan teknologi tinggi, mempunyai risiko tinggi, menggunakan peralatan yang didesain khusus dan/atau pekerjaan yang bernilai diatas Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).”
Jadi, mulai sekarang, sesuai dengan Perpres 54/2010, mari tinggalkan Metode Evaluasi Sistem Nilai dan beralih menggunakan Metode Evaluasi Sistem Gugur. Bagi yang masih menggunakan Metode Evaluasi Sistem Nilai, berhati-hatilah dalam menggunakan metode tersebut.

Posting Komentar

0 Komentar